IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Sudahkah Kita Menghargai?

Silaturrahim Santri dan Wali Santri Konsulat Malang
Hari ini merupakan saat yang berbahagia karena adikku pulang dari perjuangannya di Pondok Modern Gontor 3 Darul Ma'rifat Sumbercangkring Gurah Kediri. Semakin mengingatkanku pada masa-masa muda di mana semangat untuk bergerak sangat membara, menjalin kekompakan merupakan hal yang sangat membanggakan (seperti warna baju yang sama : warna biru lambang arema) serta sedang on fire dalam menelurkan karya-karya.
Ada yang baru dan sangat bagus pada acara perpulangan Konsulat kali ini. Konsulat Malang dari Gontor 1, Gontor 2, Gontor 3, Gontor 5 dan Gontor 6 bergabung serta bekerja sama menghelat sebuah acara silaturrahmi antara santri serta wali santri usai perjalanan pulang dari pondok. Bertempat di Masjid AR. Fakhruddin lt. 1 Universitas Muhammadiyah Malang. Acara berlangsung dengan meriah. Dan aku sangat mengapresiasinya, terlebih saat sambutan-sambutan disampaikan, juga sosialisasi mengenai agenda pagelaran seni yang rutin diadakan saat perpulangan akhir tahun. Semua mengikuti acara dengan seksama dan khidmat.
Bicara soal pagelaran seninya Konsulat Malang, Pagelaran seni ini dimulai semenjak tahun 2008 di bawah bimbingan Ustadz Ahmad Manshour, dipanitiai oleh Adli Ahdiyat, Fahrizal, Aunnur Rochman, Tafakkur Amin, Alfan Kurniawan, Ahmad Alfian, Abdul Majid, Abdul Majid (majid ada 2) dan kawan-kawan yang lain. Konsep direncanakan sedemikian rupa dengan penampilan-penampilan yang dikemas secara apik dan menarik (wenaak).Tentu adanya pagelaran seni ini bukan tanpa alasan. Pagelaran seni ini bertujuan sebagai bentuk dakwah, serta memperluas nilai-nilai kepondokmodernan pada masyarakat luas. Kemudian berlanjut pada tahun berikutnya yang dipanitiai oleh Hirzul Umam (Alm.), Faris Faishal, Baihaqi, Ivan Ahsanul Insan dan kawan-kawan yang lain. Berlanjut hingga saat ini kegiatan tersebut terus lestari dengan segala perkembangannya.

kembali ke judul...
Hari ini pula, aku menyoroti dengan kacamata pribadiku sendiri yang mungkin saja buram dan tak tajam, terdapat hal yang perlu untuk ditindak lanjuti dengan otokritik. Hal itu adalah soal menghargai. Dan mau tak mau, aku akan menggunakan otokritik itu. Otokritiknya kutujukan pada wali santri (termasuk aku sendiri yang sering mengantuk saat ada yang berbicara di panggung tadi termasuk saat Sosialisasi acara pagelaran seni), yaitu sudahkah kita menghargai para santri yang sedang bersemangat untuk melakukan dakwah? Sekiranya tadi saya (ganti wes ngga pake aku) melihat beberapa wali santri memberikan feedback yang bisa jadi menurunkan semangat para santri atas usaha kerasnya menyiapkan segala sesuatu untuk acara hari ini. Hal ini terlihat dengan terpejamnya mata saya (asleep) (jahat dan sangat kurang menghargai sekali) dan saat panitia ingin menunjukkan video hasil karya mereka hanya saja tersendat karena masalah sound system dan lain-lain mungkin, beberapa wali santri juga bersuara seakan memberikan semangat namun (bagi saya) semacam memiliki arti "yasudahlah wong nggak bisa" karena memang sudah gagal mencobanya berkali-kali (masalah teknis sih sebenarnya). Mohon maaf sebelumnya jika saya kurang sopan saat menggunakan otokritik ini kepada wali santri yang lebih tua jauh dari saya. Bagi saya, lebih baik saya diam atau bertindak sesuatu daripada hanya bersuara namun seperti itu. Yang kawan-kawan para santri beserta para Asatidz selenggarakan dan lakukan adalah hal positif, tidak merugikan sama sekali, dan ini adalah bentuk proses bagi para santri, menandakan bahwa mereka benar-benar belajar dengan sungguh-sungguh, maka seharusnya kita bangga kepada para santri yang semangat dalam proses. Mereka melakukan kesalahan berarti mereka belajar. Mereka belajar berarti wawasan mereka semakin bertambah juga memperbaiki praktek kehidupan mereka. Mohon maaf sekali lagi karena saya merasa kita sebagai wali santri kurang respect kepada para santri jika keadaannya seperi yang saya jelaskan di atas. Mungkin kita terburu banyak sekali urusan, terburu ingin pulang, segera melepas rindu karena santri-santri telah belajar di pondok untuk berbulan-bulan (bukan waktu yang sebentar), namun mari kita ingat bahwa mereka sedang belajar. Akankah kita mengebiri semangat belajar mereka?

Itulah otokritik bagi saya sendiri yang sangat hina ini dan beberapa wali santri saat itu. Semoga kita dapat memetik pelajaran atas segala peristiwa, bukan merasa paling benar sendiri dengan perasaan keinginan yang kuat untuk memenuhi kehendak diri yang "individualis" sifatnya.

Aku sendiri berharap semoga kawan-kawan santri tetap semangat dalam belajar, mikir-mikirlah kalau ingin mengambil keputusan untuk keluar dari pondok, berhenti mondok, pulang selamanya karena untuk membiayai kalian, orang tua tiap 1/3 akhir malam bersimpuh pada Dzat Yang Maha Kuasa, banting tulang mencari nafkah dengan segala cobaannya serta tetesan air mata mereka yang tak terhitung juga perlu kalian ingat selalu. Dan sebagai wali santri, sudah sepatutnya bagi kita untuk mendukung para santri belajar, berproses yang tentunya masih dalam koridor positif. Perlu di kontrol, namun tidak langsung "dikebiri" saat mereka tak sengaja melakukan kesalahan.

Komentar